Opini & Artikel
Kultur Wasathiyah Bangun Panggung Dasar Negara
(Pembacaan Sikap Moderasi Islam Dalam Proses Membidani Pancasila)
OLEH: Dr. Jamiluddin, M.Pd
Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga Pendidik di SMA NW Pancor
SEJARAH bertutur panjang tentang kearifan para pejuang. Dari usaha perlawanan, perjuangan. Pergerakan, prepare, hingga proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tercatat secara apik dalam catatan sejarah bangsa kita. Salah satu catatan penting dan seksi dalam sejarah pejuang kita adalah proses membidani Dasar Negara. Dalam proses itu ada gelar wawasan intelektualitas, ada kepentingan aliran, ada perdebatan, dan sekaligus ada sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Gelar wawasan intelektualitas hadir ketika para pejuang berusaha menjawab kegalauan warga bangsa mencari formula Dasar Negara yang patut, tepat, dan merefresentasi warna-warni Nusantara. Siklus pencarian ini tidak mudah. Ragam warna-warni Nusantara menjadi pemicu kepentingan aliran yang diusung pengikutnya. Perdebatan menjadi ramai mengemuka. Semakin tak mudah dan menantang jika variable mainstream-minoritas menjadi varian yang dilibatkan.
Betapa tak mudahnya siklus pencarian itu, tetapi faktanya Dasar Negara berhasil dibidani melalui proses kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan. Dalam sesi inilah siklus pencarian Dasar Negara ini seksi diurai. Bayangkan saja proses elaborasi kepentingan aliran yang sedemikian banyak ditambah realitas mainstream-minoritas sebagaimana diuraikan di atas. Tentu ada seni meramu nada gagasan yang bertangga, ada kapasitas komunikasi politik yang mendorong koalisi, ada kultur integritas untuk mempertahankan keutuhan, dan yang terpenting adalah adanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan tesebut.
Semua prosesi pencarian akan elok dan nikmat disuguhkan bila proses elaborasi kepentingan dalam pencarian Dasar Negara tersebut di-searching dan dikaji melalui teknik pembacaan yang seksama dan menggunakan muqarrobat (pendekatan) yang tepat. Selain itu, rangkaian penuturan akan lebih menggigit atau nendang jika author (penulis) dalam posisi outsider.
Ketika kita ingin fokus pada keinginan memastikan dominanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan pada penetapan Dasar Negara, maka kita harus membongkar sisi mainstream-minoritas dalam setiap perjumpaan atau sidang-sidang yang diselenggarakan untuk hal tersebut. Kalau kita membidik mainstream variable, maka profil demografi pada awal abad 20 haruslah ditelisik.
Pada awal abad 20 atau sekitar tahun 1900-1945, Kebangkitan Islam (Islamic Resugence) di Nusantara cukup mencolok. Islamic Resugence ini ditandai dengan bermunculannya organisasi kemasyarakatan Islam. Di antara organisasi kemasyarakatan tersebut adalah 1). Pendirian Nahdlatul Wathan di Jawa Timur, 2). Sarekat Islam pada tahun 1911 yang pada awalnya memiliki embrio bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan tahun 1905 oleh H. Samanhudi, 3). Lembaga Pendidikan Djami’at Chair Jakarta berdiri tahun 1905, 4). Penerbitan Majalah Al-Imam pada tahun 1906, 5). Penerbitan Majalah Al-Munir di Padang pada tahun 1911, Pendirian Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912, 6). Pendirian Nahdlatul Ulama di Jawa Timur pada tahun 1926, 7). Pendirian Madrasah NWDI di Lombok pada tahun 1936, 8). Pendirian Madrasah NBDI di Lombok pada tahun 1942, 9). Kerabatan atau paguyuban kesultanan maupun raja-raja di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Bima, Sumbawa, dan lain-lain.
Data-fakta di atas menunjukkan bahwa profil demografi Nusantara awal abad 20 didominasi oleh penduduk beragama Islam. Artinya, Islam ketika itu menjadi mainstream di Nusantara. Sebagai sebuah mainstream, tentu Islam memiliki peluang mewarnai Nusantara, setidak-tidaknya “menghijaukannya” dengan sesejuk mungkin. Dalam konteks yang kita bahas ini, sangat mungkin mainstream Islam dalam menggagas Dasar Negara akan lebih mengerucut pada Ide Dasar Ke-Islaman. Artinya, Islam sangat berpeluang menggiring warga bangsa untuk memilih Dasar Negara yang akan melahirkan terbentuknya khilafah atau Negara Islam.
Peluang-peluang yang dimiliki mainstream Islam sebagaimana uraian di atas tidak diikhtiyarkan sepenuhnya. Ruang-ruang untuk minoritas dirawat dan dijaga dengan semangat tasamuh (toleransi). Perlakuan ini kemudian menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi kelompok minoritas. Dengan hadirnya rasa aman dan nyaman, kelompok minoritas akhirnya mendedikasikan diri dengan penuh kesadaran dan integrasi yang sulit dikoyak.
Realitas Islam sebagai mainstream yang tidak “pasang badan” untuk memastikan berlakunya The survival of fittest (yang kuat pasti menang), adalah kelapangan hati tokoh-tokoh Islam atau nasionalis yang beragama Islam dalam menggagas ide rumusan Dasar Negara yang universal. Muhammad Yamin pada Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei samapi 1 Juni 1945 dengan kapasitas intelektualitas yang tak diragukan dan didorong oleh hati yang tulus mengajukan rumusan Dasar Negara yang tindak tendensius Islami (green). Demikian pula Prof. Dr Soepomo dan Ir. Soekarno. Rerata mereka layaknya seorang yang lepas dari pasungan kepentingan kelompok dan perseorangan mengusung Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat sebagai rumusan Dasar Negara yang oleh Ir. Soekarno menyebutnya sebagai Pancasila dalam pidatonya yang berjudul “Hari Lahirnya Pancasila” di dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Untuk memformulasikan rumusan Dasar Negara sebagaimana digagas oleh para tokoh bangsa tersebut, BPUPKI kemudian membentuk Panitia Sembilan yang beranggotakan: Ir. Soekarno, Drs. H. M. Hatta, M. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA. Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abi Kusno Cokrosuyoso. Dengan kepiawaian Panitia Sembilan, terkonstruklah rumusan Pancasila Dasar Negara yang dikenal dengan sebutan Jakarta Charter (Piagam Jakarta).
Rumusan intaj (hasil) kerja Panitia Sembilan dalam Jakarta Charter adalah sebagai berikut: Pancasila. 1). Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya, 2). Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, 3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, 5). Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Jakarta Charter dalam tinjauan politik yang berkeadilan sesungguhnya sudah patut dan teapat. Namun demikian akhirnya menjadi debatable. Tujuh kata pada sila pertama setelah Kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pusat perhatian. Secara objektiv kalimat “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya” mengandung makna pengecualian sekaligus pengkhususan dalam penyelenggaraannya. Jadi, bagi non muslim tidak akan terusik oleh adanya tujuh kata di atas. Namun demikian, ketika tujuh kata ini tergugat pada siding PPKI dalam rangka penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara tanggal 18 Agustus 1945, kelompok muslim mengikhlaskannya untuk dihapus. Tidak sekedar itu, bahkan yang ditinjuk sebagai juru bicara dalam pengajuan penghapusan tujuh kata itu adalah Drs. H. M. Hatta, yang tidak diragukan ketokohan secara pribadi sebagai seorang muslim taat lagi soleh.
Kelapangan data kelompok muslim dalam proses perumusan Dasar Negara hingga perubahan hasilnya yang tertuang dalam Jakarta Charter adalah hal yang mengalihkan hampir seluruh perhatian warga bangsa, baik nasional maupun dunia internasional. Pendorong semua perhatian tertuju padanya adalah prrtanyaannya sederhana saja, yakni: “Semudah itukah?”
Fakta atau realita yang tercatat dalam sejarah memang kelapangan dada kelompok muslim menerima Dasar Negara Pancasila sekaligus perubahan tujuah kalimat pada sila pertama sebagaimana tetera dalam Jakarta Charter memang sedemikian adanya. Bukan karena kelompok muslim adalah negosiator yang lemah tetapi justeru menjadi bagian warga bangsa yang sangat kuat mengendalikan diri. Kelompok Muslim sebagai mainstream berhasil “merdeka” dari borgol keserakahan dan kesewenang-wenangan.
Sikap yang sedemikian agung dan mencengangkan hingga banyak pihak yang harus stand ovation bukan lahir begitu saja. Sikap ini adalah sebuah keyakinan yang menjadi bagian ajaran Islam yang ya’lu wala yu’la alaih. Inilah yang disebut sikap “Tasamuh” (toleransi). Sikap ini tidak berdiri sendiri tetapi terkonstruk oleh penetapan Islam dan ummatnya oleh Alloh Ta’ala sebagai Ummatan Washaton (ummat yang adil), sebagaimana dalam Firman Alloh pada QS Al-Baqoroh Ayat 143.
Penetapan Alloh inilah yang kemudian mengkonstruk pribadi setiap muslim yang taat, khususnya pada saat penetapan Dasar Negara dan perubahan isi sila pertama pada Jakarta Charter (Piagam Jakarta), termasuk para tokoh muslim yang menjadi perwakilan kelompok muslim pada ketika itu. Kepribadian hebat itu akhirnya tidak hanya sebagai aplikasi aspek keimanan, tetapi mendarah daging hingga menjadi kultur yang di era disruption ini dikenal dengan multiculturalism. Wallohu’alamu.
OLEH: Dr. Jamiluddin, M.Pd
Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga Pendidik di SMA NW Pancor
SEJARAH bertutur panjang tentang kearifan para pejuang. Dari usaha perlawanan, perjuangan. Pergerakan, prepare, hingga proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tercatat secara apik dalam catatan sejarah bangsa kita. Salah satu catatan penting dan seksi dalam sejarah pejuang kita adalah proses membidani Dasar Negara. Dalam proses itu ada gelar wawasan intelektualitas, ada kepentingan aliran, ada perdebatan, dan sekaligus ada sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Gelar wawasan intelektualitas hadir ketika para pejuang berusaha menjawab kegalauan warga bangsa mencari formula Dasar Negara yang patut, tepat, dan merefresentasi warna-warni Nusantara. Siklus pencarian ini tidak mudah. Ragam warna-warni Nusantara menjadi pemicu kepentingan aliran yang diusung pengikutnya. Perdebatan menjadi ramai mengemuka. Semakin tak mudah dan menantang jika variable mainstream-minoritas menjadi varian yang dilibatkan.
Betapa tak mudahnya siklus pencarian itu, tetapi faktanya Dasar Negara berhasil dibidani melalui proses kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan. Dalam sesi inilah siklus pencarian Dasar Negara ini seksi diurai. Bayangkan saja proses elaborasi kepentingan aliran yang sedemikian banyak ditambah realitas mainstream-minoritas sebagaimana diuraikan di atas. Tentu ada seni meramu nada gagasan yang bertangga, ada kapasitas komunikasi politik yang mendorong koalisi, ada kultur integritas untuk mempertahankan keutuhan, dan yang terpenting adalah adanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan tesebut.
Semua prosesi pencarian akan elok dan nikmat disuguhkan bila proses elaborasi kepentingan dalam pencarian Dasar Negara tersebut di-searching dan dikaji melalui teknik pembacaan yang seksama dan menggunakan muqarrobat (pendekatan) yang tepat. Selain itu, rangkaian penuturan akan lebih menggigit atau nendang jika author (penulis) dalam posisi outsider.
Ketika kita ingin fokus pada keinginan memastikan dominanya akhlak mulia yang berperan dalam elaborasi kepentingan pada penetapan Dasar Negara, maka kita harus membongkar sisi mainstream-minoritas dalam setiap perjumpaan atau sidang-sidang yang diselenggarakan untuk hal tersebut. Kalau kita membidik mainstream variable, maka profil demografi pada awal abad 20 haruslah ditelisik.
Pada awal abad 20 atau sekitar tahun 1900-1945, Kebangkitan Islam (Islamic Resugence) di Nusantara cukup mencolok. Islamic Resugence ini ditandai dengan bermunculannya organisasi kemasyarakatan Islam. Di antara organisasi kemasyarakatan tersebut adalah 1). Pendirian Nahdlatul Wathan di Jawa Timur, 2). Sarekat Islam pada tahun 1911 yang pada awalnya memiliki embrio bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan tahun 1905 oleh H. Samanhudi, 3). Lembaga Pendidikan Djami’at Chair Jakarta berdiri tahun 1905, 4). Penerbitan Majalah Al-Imam pada tahun 1906, 5). Penerbitan Majalah Al-Munir di Padang pada tahun 1911, Pendirian Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912, 6). Pendirian Nahdlatul Ulama di Jawa Timur pada tahun 1926, 7). Pendirian Madrasah NWDI di Lombok pada tahun 1936, 8). Pendirian Madrasah NBDI di Lombok pada tahun 1942, 9). Kerabatan atau paguyuban kesultanan maupun raja-raja di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Bima, Sumbawa, dan lain-lain.
Data-fakta di atas menunjukkan bahwa profil demografi Nusantara awal abad 20 didominasi oleh penduduk beragama Islam. Artinya, Islam ketika itu menjadi mainstream di Nusantara. Sebagai sebuah mainstream, tentu Islam memiliki peluang mewarnai Nusantara, setidak-tidaknya “menghijaukannya” dengan sesejuk mungkin. Dalam konteks yang kita bahas ini, sangat mungkin mainstream Islam dalam menggagas Dasar Negara akan lebih mengerucut pada Ide Dasar Ke-Islaman. Artinya, Islam sangat berpeluang menggiring warga bangsa untuk memilih Dasar Negara yang akan melahirkan terbentuknya khilafah atau Negara Islam.
Peluang-peluang yang dimiliki mainstream Islam sebagaimana uraian di atas tidak diikhtiyarkan sepenuhnya. Ruang-ruang untuk minoritas dirawat dan dijaga dengan semangat tasamuh (toleransi). Perlakuan ini kemudian menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi kelompok minoritas. Dengan hadirnya rasa aman dan nyaman, kelompok minoritas akhirnya mendedikasikan diri dengan penuh kesadaran dan integrasi yang sulit dikoyak.
Realitas Islam sebagai mainstream yang tidak “pasang badan” untuk memastikan berlakunya The survival of fittest (yang kuat pasti menang), adalah kelapangan hati tokoh-tokoh Islam atau nasionalis yang beragama Islam dalam menggagas ide rumusan Dasar Negara yang universal. Muhammad Yamin pada Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei samapi 1 Juni 1945 dengan kapasitas intelektualitas yang tak diragukan dan didorong oleh hati yang tulus mengajukan rumusan Dasar Negara yang tindak tendensius Islami (green). Demikian pula Prof. Dr Soepomo dan Ir. Soekarno. Rerata mereka layaknya seorang yang lepas dari pasungan kepentingan kelompok dan perseorangan mengusung Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat sebagai rumusan Dasar Negara yang oleh Ir. Soekarno menyebutnya sebagai Pancasila dalam pidatonya yang berjudul “Hari Lahirnya Pancasila” di dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Untuk memformulasikan rumusan Dasar Negara sebagaimana digagas oleh para tokoh bangsa tersebut, BPUPKI kemudian membentuk Panitia Sembilan yang beranggotakan: Ir. Soekarno, Drs. H. M. Hatta, M. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA. Maramis, Abdul Kahar Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abi Kusno Cokrosuyoso. Dengan kepiawaian Panitia Sembilan, terkonstruklah rumusan Pancasila Dasar Negara yang dikenal dengan sebutan Jakarta Charter (Piagam Jakarta).
Rumusan intaj (hasil) kerja Panitia Sembilan dalam Jakarta Charter adalah sebagai berikut: Pancasila. 1). Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya, 2). Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, 3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, 5). Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Jakarta Charter dalam tinjauan politik yang berkeadilan sesungguhnya sudah patut dan teapat. Namun demikian akhirnya menjadi debatable. Tujuh kata pada sila pertama setelah Kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pusat perhatian. Secara objektiv kalimat “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya” mengandung makna pengecualian sekaligus pengkhususan dalam penyelenggaraannya. Jadi, bagi non muslim tidak akan terusik oleh adanya tujuh kata di atas. Namun demikian, ketika tujuh kata ini tergugat pada siding PPKI dalam rangka penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara tanggal 18 Agustus 1945, kelompok muslim mengikhlaskannya untuk dihapus. Tidak sekedar itu, bahkan yang ditinjuk sebagai juru bicara dalam pengajuan penghapusan tujuh kata itu adalah Drs. H. M. Hatta, yang tidak diragukan ketokohan secara pribadi sebagai seorang muslim taat lagi soleh.
Kelapangan data kelompok muslim dalam proses perumusan Dasar Negara hingga perubahan hasilnya yang tertuang dalam Jakarta Charter adalah hal yang mengalihkan hampir seluruh perhatian warga bangsa, baik nasional maupun dunia internasional. Pendorong semua perhatian tertuju padanya adalah prrtanyaannya sederhana saja, yakni: “Semudah itukah?”
Fakta atau realita yang tercatat dalam sejarah memang kelapangan dada kelompok muslim menerima Dasar Negara Pancasila sekaligus perubahan tujuah kalimat pada sila pertama sebagaimana tetera dalam Jakarta Charter memang sedemikian adanya. Bukan karena kelompok muslim adalah negosiator yang lemah tetapi justeru menjadi bagian warga bangsa yang sangat kuat mengendalikan diri. Kelompok Muslim sebagai mainstream berhasil “merdeka” dari borgol keserakahan dan kesewenang-wenangan.
Sikap yang sedemikian agung dan mencengangkan hingga banyak pihak yang harus stand ovation bukan lahir begitu saja. Sikap ini adalah sebuah keyakinan yang menjadi bagian ajaran Islam yang ya’lu wala yu’la alaih. Inilah yang disebut sikap “Tasamuh” (toleransi). Sikap ini tidak berdiri sendiri tetapi terkonstruk oleh penetapan Islam dan ummatnya oleh Alloh Ta’ala sebagai Ummatan Washaton (ummat yang adil), sebagaimana dalam Firman Alloh pada QS Al-Baqoroh Ayat 143.
Penetapan Alloh inilah yang kemudian mengkonstruk pribadi setiap muslim yang taat, khususnya pada saat penetapan Dasar Negara dan perubahan isi sila pertama pada Jakarta Charter (Piagam Jakarta), termasuk para tokoh muslim yang menjadi perwakilan kelompok muslim pada ketika itu. Kepribadian hebat itu akhirnya tidak hanya sebagai aplikasi aspek keimanan, tetapi mendarah daging hingga menjadi kultur yang di era disruption ini dikenal dengan multiculturalism. Wallohu’alamu.
Via
Opini & Artikel
Posting Komentar